skip to main |
skip to sidebar
Menteri ESDM Sudirman Said (ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna)
Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, perusahaan migas asal Rusia telah menawarkan untuk memasok minyak mentahnya (crude) ke Indonesia.
"Tadi malam, kita dapat telepon dari rekan yang punya kontak dengan Rusia. Mereka menawarkan crude-nya," katanya dalam acara bincang-bincang di satu radio di Jakarta, Sabtu.
Menurut dia, tawaran tersebut sesuai rencana pemerintah ke depan yang akan lebih mencari minyak mentah dan BBM secara langsung dari sumbernya atau tanpa melalui perantara (trader dan broker).
Sebelumnya, pada Jumat (31/10), BUMN migas asal Angola, Sonangol telah menandatangani kesepakatan memasok crude dengan PT Pertamina (Persero).
Saat ini, produksi minyak mentah Angola mencapai dua juta barel per hari, dengan tingkat konsumsi hanya satu juta barel per hari.
"Kalau Angola bisa masok 100.000 barel per hari saja ke Indonesia, maka sudah mengurangi 25 persen impor," kata Sudirman.
Menurut dia, sebenarnya, banyak produsen minyak dan BBM global berkeinginan memasok secara langsung ke Indonesia.
"Kita adalah market yang luar biasa," katanya.
Hanya saja, selama ini, kegiatan perdagangan minyak tersebut sering disalahgunakan.
"Kalau kita punya security of supply yang besar, maka akan baik ke depannya," ujarnya.
Selain pasok minyak mentah, Sonangol juga berencana membangun kilang pengolahan minyak mentah menjadi BBM bekerja sama dengan Pertamina.
Kilang pengolahan dibutuhkan untuk menekan impor BBM.
Saat ini, kilang yang ada hanya mampu memenuhi 30 persen kebutuhan premium nasional, sementara solar 70 persen.
Artinya, Indonesia masih mengimpor 70 persen kebutuhan premium nasional dan solar mencapai 30 persen.
Total impor kedua produk tersebut mencapai 13 juta kiloliter per tahun.
Kebutuhan impor tersebut bakal terus meningkat mengingat pertumbuhan pemakaian BBM mencapai 8--9 per tahun.
"Betul, itu akan berpengaruh. Penghitungannya sederhana"
Menkeu Chatib Basri. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu/mes/14)
Menteri Keuangan Chatib Basri memperkirakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi pada November 2014, bisa menghemat anggaran belanja subsidi energi dalam APBN-Perubahan hingga Rp 21 triiliun.
"Kalau naik Rp 3.000 (per liter) pada November, saving-nya Rp 21 triliun, ini besar karena sekitar 0,2 persen dari PDB," ujarnya di Jakarta, Senin.
Menkeu memastikan kenaikan harga BBM tersebut dapat mengurangi beban belanja subsidi energi, meskipun berlaku efektif hanya dua bulan, terutama untuk belanja subsidi BBM, yang pada APBN-Perubahan 2014 ditetapkan sebesar Rp 246,5 triliun.
"Betul, itu akan berpengaruh. Penghitungannya sederhana," katanya.
Hingga 29 Agustus 2014, realisasi belanja subsidi BBM telah mencapai Rp 162,4 triliun atau 65,9 persen dari pagu Rp 246,5 triliun, dan kemungkinan akan melebihi pagu apabila hingga akhir tahun tidak ada upaya penghematan BBM bersubsidi.
Sementara, terkait ekspektasi inflasi yang terjadi karena adanya wacana kenaikan BBM bersubsidi, menurut Menkeu, salah satu cara untuk meredam ekspektasi laju inflasi adalah pemerintahan baru harus merealisasikan wacana tersebut.
"Cara meredam inflasi paling baik, naikkan segera (harga BBM). Begitu dinaikkan tidak ada lagi ekspektasinya. Realisasikan, sehingga tidak ada lagi ekspektasi," katanya.
Sebelumnya, beredar wacana bahwa pemerintahan baru segera menyesuaikan harga BBM bersubsidi Rp 3.000 per liter pada November 2014, agar tersedia ruang fiskal memadai dan kuota tidak melebihi 46 juta kiloliter.
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sedang mengembangkan minyak kelapa menjadi bioavtur untuk menggantikan avtur yang digunakan sebagai bahan bakar pesawat terbang.
"Ini adalah pengembangan generasi kedua, saya telah mengembangkan katalis yang dapat mengonversikan minyak kelapa menjadi bioavtur dan bisa langsung digunakan tanpa mencampurnya dengan avtur," kata peneliti senior di Divisi Energi Terbarukan BPPT, Dr. Erlan Rosyadi di gedung BPPT, Jakarta, Selasa (16/9).
Ia telah mencoba berbagai jenis minyak untuk dijadikan bioavtur seperti minyak sawit dan minyak kanola tetapi minyak kelapa paling mudah dijadikan bioavtur.
"Kunci mengonversikan biomassa menjadi bioavtur adalah selektifitas, semakin banyak fraksinya yang dominan maka semakin gampang," kata Erlan.
Menurutnya semua bagian tanaman bisa dijadikan bahan bakar terbarukan hanya saja perlu kemauan dari pemerintah untuk mendukung pengembangan ilmu ini agar Indonesia tidak lagi menggunakan bahan bakar minyak bumi.
Ia mengatakan seharusnya Indonesia membuat industri katalis sehingga tidak bergantung dengan imporitr yang berakibat meningkatnya harga bahan bakar.
"Kilang minyak bio ini alatnya hampir sama dengan kilang minyak mentah, katalisnya pun ada beberapa yang sama bedanya kalau kilang minyak harus dimasukkan minyak mentah kalau kilang minyak bio dimasukkan semua biomassa, dan hasil produksinya sama," kata spesialis teknisi di bidang Bahan Bakar Nabati BPPT, Dr. Arif Yudiarto.
Ia berharap pemerintah mau membangun kilang biomassa, karena sebenarnya Indonesia mempunyai sumber daya alam dan konsep untuk menggantikan bahan bakar bumi menjadi bahan bakar yang ramah lingkungan.
"Ini malah buang-buang Rp 360 triliun tiap tahun untuk biaya subsidi"
Kilang minyak [ilustrasi]
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, Kamis 11 September 2014, menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya mampu membangun kilang pengolahan minyak dari alokasi dana subsidi bahan bakar minyak (BBM) dalam anggaran negara.
Menurut Suryo, investasi dalam bentuk pembangunan kilang minyak akan lebih bermanfaat untuk jangka panjang, ketimbang setiap tahun anggaran negara dihamburkan untuk memberi subsidi bahan bakar.
"Anda tahu tidak? Subsidi BBM itu sepertiga pendapatan pajak. Kita harus melakukan sesuatu, biang kerok permasalahan kita itu di situ," ujar Suryo di Jakarta.
Pembangunan kilang pengolahan minyak, menurut Suryo, biayanya hanya sekitar Rp80 triliun. Ini jelas lebih murah, dibanding dana subsidi BBM yang digelontorkan pemerintah tiap tahun.
"Untuk bangun kilang hanya perlu Rp 80 tirliun. Ini Rp 360 triliun malah kita buang-buang setiap tahun untuk biaya subsidi," kata Suryo.
Selain itu, ia menambahkan, subsidi ini ditengarai tidak tepat sasaran. Sebab, telah diketahui bahwa 70 persen subsidi itu dinikmati oleh masyarakat kalangan mampu.
Di tengah kondisi industri nasional menghadapi tantangan berat di masa depan, ia melanjutkan, semestinya pemerintah bisa mengambil kebijakan yang dapat memperkuat perekonomian nasional. Ini penting, mengingat penerapan era persaingan bebas di kawasan Asia Tenggara, atau yang disebut Masyarakat Ekonomi ASEAN akan diberlakukan pada 2015.
Jika tak mempersiapkan diri dengan baik, dikhawatirkan Indonesia akan kalah bersaing dengan negara-negara lain di kawasan yang perekonomiannya lebih kuat.
"Industri kita belum bisa terlalu banyak memberi nilai tambah yang berarti. Ini juga perlu menjadi pemikiran kita, supaya bisa menciptakan iklim yang lebih kompetitif," kata Suryo.(asp)
★ Vivanews
Fakultas Teknologi Industri Program Studi Teknik Mesin Universitas Trisakti (Usakti) melakukan pengembangan terhadap Bahan Bakar solar menjadi solar air.
"Usakti sangat bangga dengan kerja keras yang dilakukan oleh mahasiswa kami, dan mendukung penuh inovasi ini. Kami berharap dapat bermanfaat bagi Masyarakat," Wakil Dekan Usakti Dr. Ing. A.C Arya, di Jakarta, Senin.
Sebelumnya, Fakultas Teknologi Industri Usakti program studi Teknik Mesin juga telah mendapatkan Penghargaan Rekor MURI, serta berbagai penghargaan Nasional maupun Internasional dalam penelitian penggunaan Bahan Bakar dengan berbagai variasi salah satunya yaitu, minyak jelantah dan minyak Kelapa sawit.
Menurut Arya kisruh subsidi dan kelangkaan bahan bakar solar yang saat ini sedang ramai dibicarakan membuat Mahasiswa Usakti melakukan inovasi Bahan Bakar Solar menjadi solar air.
Sementara itu Ketua Panitia Uji Coba Bahan Bakar Solar Air, Dimas Airlangga yang merupakan Mahasiswa Usakti Fakultas Teknik Industri, menyatakan harapannya bahwa dengan diciptakannya Inovasi ini dapat menjadi solusi terhadap permasalahan BBM di Indonesia.
"Kami akan mengelilingi 69 pulau di Kepulauan Seribu ini dengan perkiraan lama perjalanan sampai 5 hari, harapan kami, jika uji coba ini berhasil, inovasi ini dapat digunakan untuk masyarakat pada umumnya, dan khususnya untuk para nelayan" ujar Dimas dalam keterangan terulisnya melalui surat elektronik.
Dikatakannya uji coba ini juga dalam rangka merayakan Dirgahayu RI mendatang.
Dimas mengungkapkan Bahan Bakar Solar air yang Bahan utamanya Solar 70 persen namun ditambahkan, bahan adiktif 20 persen dan Air 10 persen adalah aman bagi lingkungan.
"Bio Solar air ini lebih aman untuk lingkungan, dan tidak akan merusak mesin" ujar Dimas.
Pengembangan dan inovasi ini dibimbing oleh Dr. Ir. Muhammad Mafnan. Bahan Bakar Solar Air ini mampu memberikan penghematan sebesar 10 persen dari biaya solar yang biasa dan kepadatan asap yang dihasilkan dari pembakaran solar yang biasanya hitam pun berkurang hingga 60 persen.
Inovasi pengembangan bahan bakar solar menjadi solar aiar mendapat perhatian khusus dan apresiasi dari Pemerintah DKI Jakarta, Bupati Kepulauan Seribu Asep Syarifudin.
"Inovasi karya mahasiswa - mahasiswa Fakultas Teknik Usakti ini patut diapresiasi" katanya.
Ia mengatakan BBM Solar saat ini menjadi masalah yang krusial dan memerlukan solusi terutama untuk para nelayan seperti di wilayah Kepulauan Seribu ini. Temuan-temuan seperti ini harus di dukung oleh pemerintah.
"Sesuatu yang dibuat secara teoritis, kemudian dipraktekkan dan ada manfaatnya seperti yang dilakukan adik -adik Mahasiswa Usakti ini perlu didukung," katanya.(F006/A029)
★ Antara
Mulai hari ini, solar bersubsidi dibatasi di sejumlah wilayah.
SPBU 31.103.03 Cikini, Jakarta Pusat, tidak lagi menjual solar bersubsidi.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mengeluarkan kebijakan pengendalian penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat mulai Jumat pekan lalu. Penggunaan solar bersubsidi di beberapa daerah juga mulai dibatasi mulai hari ini, Senin 4 Agustus 2014.
Pembatasan ini memicu protes keras dari para pengusaha angkutan umum yang tidak bisa lagi mengisi bahan bakar solar bersubsidi di Jakarta Pusat.
Kebijakan ini diambil setelah DPR mengunci kuota BBM bersubsidi sebanyak 46 juta kiloliter pada 2014. Kuota ini turun dari yang sebelumnya 48 juta kiloliter. Pemerintah dan DPR sepakat kuota tersebut tak boleh jebol hingga akhir tahun ini. Kalau lebih dari kuota, tak ada pembayaran subsidi BBM.
Ketentuan baru ini mencantumkan pembatasan penjualan solar bersubsidi di beberapa wilayah tertentu. Aturan ini ditujukan kepada badan usaha pelaksana, penyedia, dan pendistribusian bahan bakar minyak (bersubsidi), seperti PT Pertamina, untuk tidak menjual solar bersubsidi di SPBU.
Bila ada badan usaha yang menjual solar atau premium melebihi dari 46 juta kiloliter, subsidinya tidak akan dibayarkan pemerintah.
Pembatasan penjualan solar bersubsidi juga akan dilakukan di wilayah rawan penyalahgunaan BBM bersubsidi seperti di daerah industri, perkebunan, dan pertambangan. Waktunya pun dibatasi, yaitu mulai pukul 18.00-06.00 WIB.
"Pengendalian ini akan berlaku mulai 4 Agustus 2014," kata Komite BPH Migas, Ibrahim Hasyim, Jumat, 1 Agustus 2014.
Surat edaran soal ketentuan ini telah disampaikan kepada badan usaha dan instansi terkait dan telah melalui pembahasan intensif dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, dan Pertamina.
Meski demikian, ada sejumlah wilayah yang menjadi pengecualian kebijakan BPH Migas terkait pembatasan penjualan solar bersubsidi, yakni di daerah yang menjadi jalur distribusi logistik.
“Yang dikecualikan adalah SPBU di jalur utama logistik, yaitu lintas Sumatera dan Pantura Jawa. Sebab khawatir mengganggu perekonomian dan suplai sembako bagi masyarakat,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Ali Mundakir.
Untuk wilayah-wilayah yang sudah menerapkan pembatasan ataupun pengaturan waktu seperti Batam, Bangka Belitung, serta sebagian besar Kalimantan, aturan akan diterapkan sesuai ketentuan Pemerintah Daerah setempat.
Tak hanya solar di sektor transportasi, mulai 4 Agustus 2014, alokasi solar bersubsidi untuk Lembaga Penyalur Nelayan (SPBB/SPBN/SPDN/APMS) juga akan dipotong sebesar 20 persen dan penyalurannya mengutamakan kapal nelayan di bawah 30 GT.
Selanjutnya, terhitung mulai 6 Agustus 2014, seluruh SPBU yang berlokasi di jalan tol tidak akan menjual premium bersubsidi, hanya Pertamax series. Saat ini, total jumlah SPBU di jalan tol mencapai 29 unit. Dari jumlah tersebut, 27 unit SPBU ada di wilayah Marketing Operation Region III (Jawa Barat) dan 2 unit SPBU di wilayah Marketing Operation Region V (Jawa Timur).
Hasyim menjelaskan, pengendalian penjualan solar bersubsidi di Jakarta Pusat, mulai Jumat lalu, diambil setelah melakukan riset terlebih dahulu. Menurut dia, Jakarta Pusat dipilih karena di wilayah ini penjualan solarnya lebih kecil dibanding wilayah lain.
Per hari, lanjut dia, penjualan solar hanya 3-4 ton. "Sebelum ditentukan, kami sudah melakukan peneropongan. Di Jakarta Pusat, omzet solarnya satu per sepuluh dari SPBU di luarnya," katanya.
Kecilnya jumlah penjualan solar di daerah itu dipengaruhi oleh larangan angkutan besar masuk ke Jakarta Pusat. Kebanyakan yang membeli bahan bakar di daerah tersebut adalah angkutan kota berbahan bakar premium.
Menurut pengelola SPBU Cikini, Rahmad Novizar, pihaknya telah menerima surat edaran dari BPH Migas sebelum Lebaran.
Kemudian, terhitung 4 Agustus 2014, penjualan solar bersubsidi hanya bisa dilakukan di luar Jakarta Pusat pada pukul 08.00 hingga 18.00 WIB. Penjualan di luar jam operasional tersebut tetap dilayani, namun BPH Migas tidak menghitungnya sebagai BBM bersubsidi.
Dengan subsidi, harga solar adalah Rp5.500. Namun, dengan pencabutan subsidi, harga solar melonjak hingga Rp12.800. Untuk pelarangan solar di Jakpus masih belum signifikan pengaruhnya karena masih dalam suasana libur Lebaran.
Rahmad menganjurkan, untuk mendapatkan solar subsidi, pengguna kendaraan bisa membelinya di Jakarta Barat, Timur, Utara atau Selatan. "Tapi, pembelian solar bersubsidi juga dibatasi dari jam 08.00 sampai 18.00 WIB," kata dia.
Protes Organda
Menanggapi larangan menjual solar di Jakarta Pusat, pengusaha angkutan menolaknya. Menurut Ketua DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) DKI Jakarta, Shafruhan Sinungan, kebijakan itu bisa mengganggu operasional bus Antar Kota Antar Provinsi (AKAP) dan angkutan barang. Kondisi tersebut juga akan berpengaruh kepada pelayanan dan akan ada pembebanan biaya kepada masyarakat.
Shafruhan juga menilai kebijakan BPH Migas dan Pertamina tak masuk akal. Dia meminta agar kebijakan ini ditinjau ulang. Ketentuan yang akan diterapkan akan berdampak besar secara nasional terhadap pelayanan kepada masyarakat.
"Kami meminta agar SPBU di wilayah Jakarta Pusat tetap melayani penjualan BBM bersubsidi untuk mem-back up operasional angkutan kota yang beroperasi di wilayah itu," kata dia.
Rencananya, hari ini para sopir bus angkutan umum berencana melakukan demonstrasi menentang ketiadaan solar bersubsidi di Jakarta Pusat. "Nanti mau demo hari Senin tanggal 4 Agustus 2014. Semua sopir bus angkutan umum sudah tahu semua," ujar kondektur bus angkutan umum Kopaja 19 jurusan Blok M-Ragunan-Tanah Abang, Hengki, Sabtu, 2 Agustus 2014.
Menurut Hengki, pembelian solar non-subsidi di Jakarta Pusat akan memangkas pendapatan mereka. Kemungkinan, tarif juga akan dinaikkan Rp1.000, angka ini masih belum menutupi pembelian solar 12 ribuan rupiah per liter.
Kondektur bus angkutan, Baskoro, berpendapat bahwa pemerintah tidak berpihak pada angkutan umum. "Harusnya pemerintah berpihak pada angkutan umum. Jangan disamakan dengan mobil pribadi," katanya.
Tak Ada yang Rugi
Kepala BPH Migas, Andy Noorsaman Sommeng, mengatakan, sebenarnya tidak ada yang dirugikan dengan pengendalian solar bersubsidi di Jakpus. Menurut dia, angkutan umum bisa mengisinya di tempat lain di wilayah Jakarta lainnya.
"Tidak ada yang dirugikan, kok. Mereka kan bisa mengisi solar di tempat lain," katanya.
Andy mengatakan bahwa pengaturan SPBU Jakarta Pusat tak boleh menjual solar bersubsidi masih dicoba sampai akhir tahun. "Kami akan mencoba sampai akhir tahun. Itu saja dulu. Itu juga banyak yang protes, terutama Organda," kata Andy.
"Kalau nanti mereka akan minta penjelasan, ya, kami akan menjelaskan. Yang penting, mereka kan bisa dilayani di SPBU lain. Kecuali, kalau tidak dilayani di SPBU lain, itu baru. Begitu saja, kok repot," lanjut Andy. (art)
Negara Bisa Dapat Rp 10 T dari Harga Baru Gas Tangguh
Pemerintah masih mencari celah agar mendapatkan tambahan pemasukan negara agar memperkecil defisit APBN 2014. Salah satunya dengan mempercepat selesainya renegosiasi kontrak penjualan gas Tangguh ke Fujian, Tiongkok. Diperkirakan tambahan pemasukan negara mencapai US$ 1,075 atau kurang lebih Rp 10 triliun/tahun.
"Renegosiasi kontrak gas Fujian terus berjalan, akhir bulan ini kira-kira sudah bisa closing," ujar Menteri ESDM Jero Wacik dalam Rapat dengan Badan Anggaran DPR, Kamis (5/6/2014).
Jero optimistis pihak CNNOC (perusahaan Migas Tiongkok) menyetujui permintaan kenaikkan harga jual dalam kontrak penjualan gas, karena perubahan harga sudah pernah dilakukan pada 2006.
"Ini harga awal kan US$ 2,4/mmbtu kemudian sudah dinaikkan jadi US$ 3,34 per mmbtu di 2006, sekarang itu kita renegosiasi, mereka (CNNOC) menyetujui US$7/mmbtu. Saya mau naik lagi jadi US$ 9/mmbtu," kata Jero.
Dengan harga gas Fujian naik dari US$ 3,34 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu saja, maka negara akan mendapatkan tambahan pemasukan sebesar US$ 1,075 miliar dari ekspor gas.
"Kalau US$ 8 maka bisa mendapatkan tambahan pendapatan US$ 1,075 miliar," tutupnya.
Saat ini, harga gas Tangguh Papua di Indonesia yang diekspor ke Fujian hanya US$ 3,34 per mmbtu.(rrd/hen)Dulu Jepang Berburu Gas, Tapi RI Pilih Jual Murah ke Tiongkok
Pemerintah telah berhasil merenegosiasi harga gas alam cair (LNG) ekspor Tangguh, Papua ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu. Namun bila melihat sejarahnya dulu, Jepang siap membeli mahal LNG dari Indonesia, tapi pemerintah justru menjual ke Tiongkok dengan harga yang murah.
Hal tersebut seperti diungkapkan pengamat perminyakan dari Center for Petroleum and Energy Economics Studies Kurtubi.
Menurut Kurtubi, melihat sejarahnya, pada 2002 penjualan gas ke Tiongkok menjadi permasalahan, karena pemerintah menjualnya dengan harga murah yakni hanya US$ 2,4 per mmbtu dan maksimal US$ 3,35 per mmbtu, dengan berdasarkan harga patokan minyak Jepang (Jepang Crude Cocktail/JCC) maksimal US$ 38 per barel.
"Padahal saat itu Jepang itu berburu gas, berapapun dia siap beli, tapi kita justru jualnya ke Fujian, tentu ini jadi pertanyaan, mengapa dijual murah, kenapa ke Fujian, siapa aktor di balik penjualan ini," ujar Kurtubi kepada detikFinance, Selasa (1/7/2014).
Kurtubi memberikan bukti, Jepang mau membeli gas yang jumlahnya sedikit yang ada di Sulawesi yakni Donggi Senoro. Bahkan jauh sebelumnya atau 15 tahun sebelum menjual gas murah ke Fujian, pemerintah sudah menjual LNG Badak, Kalimantan Timur ke Jepang.
"Harga jual gas ke Jepang itu tidak ada batas maksimal, mengikuti berapa harga minyak bumi, kalau minyaknya naik seperti saat ini US$ 100 per barel harga LNG Badak ke Jepang naik US$ 16 per mmbtu, tidak perlu repot-repot renegosiasi, gas ke Fujian ini mengapa kok dijual murah dengan mekanisme maksimal US$ 3,35 per mmbtu," ungkapnya.
Ia menambahkan, apalagi penunjukan operator LNG Tangguh yakni BP (British Petroleum) ini juga aneh, karena PT Pertamina (Persero) mampu mengelola Blok Tangguh.
"Buktinya apa? Pertamina sudah berhasil mengelola LNG Arun dan LNG Badak, semua fasilitas yang dibangun juga 100% bukan berasal dari APBN, tapi kok yang ditunjuk BP," ungkapnya lagi.
Kurtubi menambahkan, dirinya mengapresiasi keberhasilan pemerintah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual LNG Tangguh ke Fujian dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi US$ 8 per mmbtu, namun sebenarnya Indonesia masih rugi mengekspor gas ke Tiongkok.
"PLN saja membeli gas di dalam negeri US$ 9-10 per mmbtu, ini jual ke negara lain hanya US$ 8 per mmbtu, ini kan masih rugi kita, tapi namanya sudah kontrak jangka panjang 25 tahun sejak 2002, ya kita apresiasi lah keberhasilan ini daripada harganya tetap US$ 3,35 per mmbtu," tutupnya.(rrd/dnl)Gas Tangguh Papua Dijual Murah di 2002
Penjualan gas dari Lapangan Tangguh di Papua telah dilakukan sejak 2002, ke Fujian di Tiongkok dan Sempra di Amerika Serikat (AS). Gas ini memang dijual murah dan berkontrak panjang hingga 2034. Kenapa?
Menteri ESDM Jero Wacik menceritakan sejarah penjualan gas yang harganya disepakati US$ 2,4 per mmbtu di 2002 lalu. Harga ini tidak bisa dinaikkan meski harga minyak sudah melambung tinggi.
"Tangguh di Papua Barat itu ada gas besar sekali. Diolah, dibor di situ oleh operatornya adalah BP (British Petroleum). Itu kontrak yang terjadi tahun 2002. Jumlahnya 40 kargo per tahun. Kontraknya berlaku sampai 2034. Jadi sampai dengan tahun 2034, itu kontrak Tangguh," kata Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Adapun dalam kontrak tersebut, lanjut Jero, hasil dari produksi dua blok tersebut adalah untuk kepentingan ekspor yakni kepada Fujian dan Sempra.
"Ada dua blok, itu kontraknya seluruhnya diekspor, 100% ekspor. Sebagian ke Fujian, sebagian ke Sempra, Amerika Serikat. Jadi 0% yang untuk domestik," lanjut Jero.
Jero menyebutkan, kala itu harga gas ekspor yang ditetapkan mengacu pada Japan Crude Cocktail (JCC) atau harga acuan minyak Jepang. Namun demikian, masalah timbul lantaran pada penetapan harga acuan tersebut, dipatok harga maksimal JCC US$ 26 per barel.
Alhasil, harga tersebut bertahan selama masa kontrak, sehingga dianggap kemurahan. Apalagi harga JCC semakin meningkat.
"Rumusnya waktu itu, 5,25% x JCC + 1,35 (FOB/free on board) itu harga di Tangguh. JCC itu harga minyak mentah di Jepang yang jadi patokan kita waktu itu. Nah, harga JCC-nya dipatok maksimum US$ 26 per barel tidak boleh lebih. Itu yang menyebabkan, harga gas kita ke Fujian dari Tangguh jadi terpatok. Dengan rumus tadi, maka harganya menjadi US$ 2,7 per mmbtu dan tidak bisa naik," papar Jero.
Jero mengatakan, proyek LNG Tangguh, Papua ini disusun di tengah berbagai keterbatasan saat itu, di mana Indonesia tidak dalam posisi tawar yang baik dalam menetapkan rumusan dan harga keekonomian gas yang diekspor dari blok migas tersebut.
"Kenapa harganya tidak bisa naik, karena kontraknya bunyinya seperti itu. Saya yakin situasi saat itu juga sulit. Makanya bunyi kontraknya seperti itu. Jadi jangan menyalahkan masa lalu," tegas Jero.
Melihat kondisi tersebut, diakui Jero, Pemerintah sendiri bukan tanpa usaha untuk memperbaiki harga sehingga posisi tawar Indonesia menjadi lebih baik.
"Tahun 2006 diadakan renegosiasi, dapat sedikit naik, harga JCC-nya dinaikkan menjadi US$ 38 per barel. Dengan rumus itu, maka harga gas kta adalah US$ 3,3 per mmbtu. Itu tahun 2006. Kemudian tahun 2010, sempat diadakan renegosiasi tapi tidak berhasil. Nah, di 2011, saya menjadi Menteri ESDM bulan Oktober. Salah satu tugas saya memperbaiki lagi harga ke Fujian," kata Jero.
"Bapak Presiden ada pertemuan dengan Presiden Tiongkok. Bapak Presiden ketika itu menyampaikan agar perjanjian yang di Fujian untuk direnegosiasi, masa harga (minyak) dunia sudah US$ 100 per barel, di Fujian masih US$ 38 per barel. Itu kan tidak fair, tidak adil. Dan yang terbaru kemarin kita berhasi teken renegosiasi di 20 Juni 2013," jelasnya.Luluhkan Tiongkok Pakai Cerita Majapahit Pemerintah telah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual gas Tangguh ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi sekitar US$ 8 per mmbtu. Menteri ESDM Jero Wacik menceritakan keberhasilannya meluluhkan Tiongkok sehingga mau renegosiasi kontrak.
"Sebelum saya ke Beijing, saya sudah ditakut-takuti, kalau Presiden CNOOC (China National Offshore Oil Corporation) Mr. Wan orangnya kaku, cool, sangat dingin, sehingga pasti gagal renegosiasi," ucap Jero Wacik kepada wartawan di kantornya, Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Jero mengungkapkan, meski ditakut-takuti, dirinya optimistis, karena sebelumnya antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping sudah bertemu sebelumnya dan menyatakan bersedia renegosiasi.
"Ketika bertemu di Beijing, saya dengan presiden CNOOC, saya ceritain dulu bahwa sejak abad k3-7 bagaimana kejayaan Sriwijaya dan Majapahit bersahabat dengan Tiongkok, bagaimana utusan China Putri Campa dan Laksama Ceng Ho masuk ke Indonesia pada abad 14, kita saling berkunjung, jadi sudah seharusnya bersahabat juga dengan merenegosiasi kontrak ini," tutur Jero.
Jero menambahkan, setelah cerita panjang lebar, Presiden CNOOC akhirnya luluh juga dan bersedia merenegosiasi.
"Hasilnya per 1 Juli 2014 berlaku harga LNG Tangguh yang baru yakni US$ 8 per mmbtu, dan menghapus harga patokan Japan Crude Cocktail (JCC) price, jadi harga gasnya nanti tidak dipatok hanya US$ 8 per mmbtu saja, tapi bisa naik-turun seiring harga minyak JCC," ungkap Jero.(rrd/dnl)Keberhasilan Renegosiasi Gas Tangguh di Zaman Saya Pemerintah berbangga bisa berhasil merenegosiasi harga gas Tangguh, Papua yang dijual murah ke Fujian di Tiongkok. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik meluapkan kegembiraannya.
Jero menceritakan, atas keberhasilan renegosiasi ini, banyak pihak yang mengapresiasi, mulai dari Presiden SBY hingga para pengamat yang dulu selalu mengkritik mengapa gas Indonesia dijual murah ke Tiongkok.
"Tadi malam saja saya sembahyang berucap syukur berulang-ulang kepada Tuhan atas berhasilnya renegosiasi ini, ini akan dicatat dalam sejarah kita, keberhasilan di zaman Menteri ESDM-nya Jero Wacik," kata Jero di kantornya Jalan Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Pemerintah memang telah berhasil merenegosiasi kontrak harga jual gas Tangguh ke Fujian-Tiongkok dari US$ 3,35 per mmbtu menjadi sekitar US$ 8 per mmbtu.
"Hasilnya per 1 Juli 2014 berlaku harga LNG Tangguh yang baru yakni US$ 8 per mmbtu, dan menghapus harga patokan Japan Crude Cocktail (JCC) price, jadi harga gasnya nanti tidak dipatok hanya US$ 8 per mmbtu saja, tapi bisa naik-turun seiring harga minyak JCC," ungkap Jero.(dnl/hen)Harga Gas Tangguh US$ 8 per MMBTU, Harga Pasaran US$ 15 per MMBTU Pemerintah berhasil menaikkan harga ekspor gas Tangguh Papua ke Fujian, Tiongkok dari US$ 3,3 per MMBTU menjadi US$ 8 per MMBTU. Angka baru ini ternyata masih di bawah harga pasar ekspor gas Indonesia US$ 15 per MMBTU.
Menteri ESDM Jero Wacik mengakui, kesepakatan harga baru ekspor gas Tangguh ke Fujian yang hanya US$ 8 per MMBTU masih jauh dari harga jual gas Indonesia.
"Tapi inikan kontrak dulu, sudah ada kontraknya, kita berusaha untuk naikkan karena terlalu murah. Kalau mereka (Fujian) tidak mau kita tidak bisa apa-apa, justru hasil renegosiasi ini luar biasa, di luar dugaan saya," ungkap Jero di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Jero menegaskan, bila ada kontrak penjualan gas baru, apalagi yang diekspor ke luar negeri, dia tidak mau menyetujui dengan harga yang murah.
"Kalau sekarang paling murah US$ 9 per MMBTU, kalau di bawah itu langkahi dulu saya Jero Wacik, harga gas ekspor kita saat ini ada yang US$ 13,5, ada yang US$ 14, ada yang US$ 15 per MMBTU," tegas Jero.
Ia mengungkapkan, dengan keberhasilan tim renegosiasi yang dipimpinnya untuk menaikkan harga gas Tangguh ke Fujian US$ 8 per MMBTU nanti ke depannya pasti akan dipermasalahkan orang, kenapa harganya hanya US$ 8 per MMBTU? Kenapa tidak lebih dari US$ 13 per MMBTU.
"Dari US$ 3,3 per MMBTU naik jadi US$ 8 per MMBTU saya sudah bersyukur, doa terimakasih sama Tuhan, terima kasih Tuhan di era Jero Wacik memimpin ESDM, gas Fujian harganya bisa naik US$ 8 per MMBTU, di mana untuk mencapai itu kita babak belur, harus pakai cerita Majapahit, Sriwijaya, kalau ada yang protes nanti berhadapan dengan saya," ungkapnya.
"Terkait kenapa dulu harganya US$ 3,3 per MMBTU jangan kita persalahkan, karena saya yakin waktu itu kondisinya sulit, tidak bisa disamakan dengan sekarang," tutupnya.(rrd/dnl) Tanggapan Chairul Tanjung Pemerintah berhasil menaikkan harga ekspor gas Tangguh Papua ke Fujian, Tiongkok, dari US$ 3,3 per MMBTU menjadi US$ 8 per MMBTU. Namun angka baru ini ternyata masih di bawah harga pasar ekspor gas Indonesia, yaitu US$ 15 per MMBTU.
Menko Perekonomian Chairul Tanjung mengakui capaian ini belum sesuai dengan harga pasar ekspor gas. Namun setidaknya dengan US$ 8 per MMBTU sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Ya sudah, alhamdulillah dulu," ujar CT, sapaan Chairul Tanjung, di kantornya, Jakarta, Selasa (1/7/2014).
Dari hasil rengosiasi tersebut, CT mengatakan, sudah disepakati bahwa harga ekspor akan meningkat setiap tahun berdasarkan rumusan yang sudah ditetapkan. "Ini US$ 8 per MMBTU tidak final. Nanti kan setiap tahun bisa naik, sudah ada rumusannya," katanya.
Pemerintah akan terus berupaya untuk meningkatkan harga ekspor gas agar semakin mendekati dan sampai pada level harga pasar. "Kalau kita ingin nanti lebih tinggi harus di-renegosiasi lagi. Tidak mudah melakukan renegosiasi karena kita harus meng-honest kontrak yang sudah ada," kata CT.(mkl/hds)
Kami Dirampok
Jakarta □ MT Jelita Bangsa, kapal yang disewa PT Pertamina untuk mengangkut minyak mentah dari Dumai (Riau) sebanyak 60.000 ton, tertangkap aparat Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun di perairan Malaysia. Diduga kapal tersebut hendak menyelundupkan minyak mentah. Terbukti dengan telah ditransferkan muatan minyak sebanyak 1.000 ton ke kapal MT Ocean Maju secara ship to ship.
"Kapal itu kami sewa untuk angkut minyak mentah ke Kilang Balongan, ternyata di perjalanan dibelokkan ke perairan Malaysia. Ini sama saja Pertamina dirampok," tegas Vice President Corporate Communicaton Pertamina Ali Mundakir kepada detikFinance, Selasa (10/6/2014).
Namun, lanjut Ali, berdasarkan penyelidikan internal yang dilakukan Pertamina, kargo minyak sebanyak kurang lebih 402.000 barel tersebut masih utuh. "Minyak yang dijual mereka (MT Jelita Bangsa) merupakan minyak sisa, di luar minyak Pertamina yang dibeli dari Chevron Dumai," ucapnya.
Ia mengatakan, pihaknya terus mempercepat pembahasan dengan Ditjen Bea dan Cukai. Pertamina ingin proses hukum tetap berjalan, tetapi minyaknya bisa dibawa ke Balongan.
"Minyak ini kan untuk diproduksi menjadi BBM (bahan bakar minyak) untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Jadi sangat penting, apalagi jumlahnya cukup besar," tutur Ali.
Pekan lalu, terjadi upaya penyelundupan minyak ke Malaysia oleh kapal MT Jelita Bangsa. Seharusnya, kapal tanker tersebut mengirimkan minyak mentah ke kilang Pertamina di Balongan, Jawa Barat. Namun ternyata kapal tersebut malah dikirim ke sebuah kapal bernama MT Ocean Maju.
MT Jelita Bangsa merupakan kapal dengan panjang 232 meter yang disewa oleh Pertamina. Kapal ini dimiliki oleh PT Trade Maritim Tbk (TRAM). Sementara untuk MT Ocean Maju, menurut Ditjen Bea dan Cukai, tidak terdaftar.
Potensi kerugian dari minyak yang diselundupkan MT Jelita Bangsa mencapai Rp 450 miliar. Ini juga berimplikasi pada berkurangnya pasokan bahan baku BBM dalam negeri.
Ada sejumlah orang yang diamankan, yaitu nakhoda dan mualim MT Jelita Bangsa, serta nakhoda dan bungker clark MT Ocean Maju. Penyelidikan ini masih berjalan.Tidak Ada KerugianPT Pertamina mengklaim pihaknya maupun negara tidak ada yang dirugikan terkait penangkapan kapal MT Jelita Bangsa yang mengangkut minyak milik Pertamina dari Chevron Dumai ke Kilang Balongan.
"Negara tidak rugi sama sekali, begitu pun Pertamina, walau minyak tersebut mau diselundupkan atau dijual di perairan Malaysia," ucap Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir kepada detikFinance, Selasa (10/6/2014).
Ali mengungkapkan, pengiriman minyak mentah sekitar 402.000 barel atau senilai Rp 450 miliar tersebut merupakan tanggung jawab pemilik kapal. "Kita itu ada kontraknya. Minyak yang diangkut kualitasnya A dengan jumlah 400.000 barel. Sampai di kilang, minyaknya tetap kualitas A jumlahnya tidak kurang sedikit pun. Baru kita bayar," paparnya.
Jika ada kekurangan, lanjut Ali, maka bisa ditagihkan ke pemilik kapal. "Intinya begitu. Jadi dalam kasus ini, kami sudah meminta pertanggungjawaban pemilik kapal. Minyaknya kembali atau harus ganti rugi," tegasnya.
Subsidi Energi Melonjak, Minyak Malah Diselundupkan
Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun berhasil menggagalkan upaya penyelundupan minyak ke perairan Malaysia sebanyak 60.000 ton. Jumlah ini merupakan yang terbesar sepanjang sejarah.
Bagi anggota DPR, khususnya Komisi VII yang membidangi energi, hasil ini patut diapresiasi. "Sangat mengejutkan. Tentu kami berterima kasih kepada jajaran Bea Cukai yang mampu mencegah penyelundupan yang sangat masif ini," ujar Anggota Komisi VII DPR Satya W Yudha kepada detikFinance, Selasa (10/6/2014).
Satya mengatakan, upaya penyelundupan ini sangat memprihatinkan. Indonesia tengah dalam kondisi defisit produksi minyak yang menyebabkan subsidi energi melonjak hingga hampir Rp 400 triliun.
"Kita sedang dipusingkan oleh lonjakan subsidi energi, baik listrik maupun BBM (bahan bakar minyak). Ini yang menyebabkan pemotongan anggaran di semua sektor. Malah minyak diselundupkan, jumlahnya besar lagi," tegasnya.
Seperti diketahui, Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, beserta Kepolisian berhasil menangkap usaha penyelundupan minyak ke luar negeri pada Selasa pekan lalu. Nilai dari minyak tersebut diperkirakan mencapai Rp 450 miliar.
Ini merupakan tangkapan minyak selundupan terbesar yang pernah dilakukan Bea Cukai. Kapal penyelundup itu bernama MT Jelita Bangsa yang membawa 60.000 metrik ton minyak dari produksi sumur minyak Chevron Dumai untuk diangkut ke Kilang Balongan, Jawa Barat.Pertamina Blacklist Perusahaan Kapal yang Selundupkan Minyaknya
PT Pertamina (Persero) akan mem-blacklist perusahaan pemilik kapal MT Jelita Bangsa yang tertangkap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Tanjung Karimun di perairan Malaysia, karena kedapatan menyelundupkan minyak mentah.
MT Jelita Bansa merupakan kapal yang disewa Pertamina untuk mengangkut minyak dari hasil produksi sumur milik Chevron Dumai ke Kilang Balongan, Jawa Barat.
"Kita telah kirimkan surat peringatan kepada pemilik kapal, kalau benar terbukti menyelundupkan minyak kami akan putus kontrak dan blacklist tidak akan pernah kami gunakan lagi jasanya," tegas Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir kepada detikFinance, Selasa (10/6/2014).
MT Jelita Bangsa mengangkut kargo berisi 402.955 barel minyak mentah jenis Duri Cruder eks Chevron, dan berangkat dari pelabuhan Dumai pada 2 Juni 2014 sekitar pukul 09.00 WIB tujuan Kilang Balongan, Jawa Barat. Kapal ditangkap aparat Bea Cukai di perairan sebelah utara Pulau Karimun Kecil pada 3 Juni 2014 dini hari.
Ali menegaskan kembali, Pertamina tidak akan rugi, karena sudah ada kontrak.
"Karena kontrak antara Pertamina dan pemilik kapal yang berlaku saat ini telah memagari secara tegas, kewajiban pemilik kapal untuk memastikan kargo Pertamina aman, baik secara kualitas maupun kuantitas hingga sampai di tempat tujuan pengiriman. Jadi risiko apapun terkait dengan kedua hal tersebut menjadi tanggung jawab pemilik kapal," tandasnya.
Pendapat Pengusaha KapalPekan lalu, Ditjen Bea Cukai menangkap tanker bernama MT Jelita Bangsa milik PT Trade Martirim Tbk yang berusaha menyelundupkan minyak mentah 60 ribu ton. Kapal ini merupakan sewaan Pertamina. Apa kata pengusaha perkapalan soal hal ini?
Ketua Umum DPP INSA (Asosiasi Pemilki Kapal Nasional Indonesia) Carmelita Hartoto mengatakan, penyelundupan ini merupakan ulah oknum, bukan kesalahan pemilik kapal.
Menurut Carmelita, pemilik kapal tidak akan sampai bertindak sejauh itu. Alasannya, Trade Maritim merupakan perusahaan besar yang terdaftar di pasar bursa saham.
"Saya tetap yakin pemilik kapal tidak salah, itu yang nakal oknum, bisa kru kapal bisa juga kapten kapal," ucap Carmelita kepada detikFinance, Selasa (10/6/2014).
Ia mengatakan, pemilik kapal juga menderita kerugian yang besar, karena kapal miliknya harus ditahan oleh aparat Bea Cukai. "Pemilik kapal justru rugi besar juga, karena itu kapal ditahan, itu kan biaya juga, kapalnya tidak bisa digunakan," ucapnya.
Carmelita juga meminta agar PT Pertamina (Persero) tidak melakukan blacklist serta pemutusan kontrak, karena perusahaan kapal tidak salah.
"Apalagi kalau diputus kan kasihan perusahaannya, sudah tidak salah malah di-blacklist, kan yang salah oknum, itu perusahaan nasional, sudah sulit sekarang ini perusahaan nasional berkibar kalah bersaing dengan yang asing," tutupnya.
Minyak Chevron Mau Diselundupkan ke Malaysia, SKK Migas: Tanya ke Pertamina
Jakarta ★ Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, berhasil menangkap Kapal MT Jelita Bangsa yang akan menyelundupkan minyak mentah dari produksi Chevron Dumai ke Malaysia sebanyak 59.888 metrik ton. Minyak tersebut harusnya diantar ke Kilang Balongan.
Namun dalam perjalanannya, kapal tersebut berbelok arah ke perairan Malaysia. MT Jelita Bangsa diduga merupakan kapal yang disewa oleh Pertamina.
Namun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menolak disalahkan terkait akan diselundupkannya minyak mentah tersebut ke Negeri Jiran.
"Memang benar kejadian itu (penangkapan kapal penyelundup minyak). Tapi sudah di luar tanggung jawab kami, walau minyak mentah itu sudah di luar sektor hulu yang fokus memproduksi minyak," ucap Kepala Bagian Humas SKK Migas Handoyo kepada detikFinance, Kamis (5/6/2014).
Handoyo mengungkapkan, walau minyak mentah tersebut berasal dari Chevron Dumai, tetapi minyak tersebut sudah dibeli oleh PT Pertamina yang akan dibawa ke kilang Balongan untuk diolah menjadi bahan bakar minyak (BBM).
"Minyak tersebut sudah lewat point of sale, sehingga itu bukan lagi menjadi kewenangan kami yang di hulu. Jadi tanggung jawabnya ke Pertamina, silahkan tanya ke sana," ucapnya.
Ia menegaskan, kejadian seperti ini memang sering dikaitkan dengan lembaganya. Padahal hal tersebut sudah di luar kewenangan SKK Migas.
"Kejadian-kejadian seperti ini kami sering kena getahnya, padahal bukan kewenangan kami lagi," tuturnya.(rrd/hds)Penyelundupan Minyak Terbesar dalam Sejarah Ditangkap, Siapa Pemilik Tankernya? Ditjen Bea dan Cukai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau, berhasil menangkap Kapal MT Jelita Bangsa yang akan menyelundupkan minyak mentah dari produksi Chevron Dumai ke Malaysia sebanyak 59.888 metrik ton. Minyak tersebut harusnya diantar ke Kilang Balongan.
Namun dalam perjalanannya, kapal tersebut berbelok arah ke perairan Malaysia. MT Jelita Bangsa diduga merupakan kapal yang disewa oleh Pertamina.
Namun Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menolak disalahkan terkait akan diselundupkannya minyak mentah tersebut ke Negeri Jiran.(rrd/hds)Cerita Dirjen Bea Cukai Soal Modus Penyelundupan Minyak RI Selasa 3 Juni 2014 lalu, Bea Bea Cukai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau beserta Kepolisian menangkap usaha penyelundupan minyak terbesar dalam sejarah. Penyelundupan minyak di Indonesia bukan hal asing.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono mengatakan, selain tanker MT Jelita Bangsa yang ditangkap menyelundupan minyak mentah Selasa lalu, pihaknya juga pernah menangkap beberapa tanker minyak tahun lalu yang berusaha melakukan penyelundupan.
"Memang dengan model kondisi geografis seperti itu memang mudah sekali (menyelundup), melakukan tindakan ship to ship. Jadi kapal dari sini, misalnya Dumai ke Balikpapan. Nah, di jalan dia belok ke Singapura, ya kan. Kan melacaknya susah itu kan. Modus-modus itu yang sedang kita dalami sekarang," tutur Agung kepada detikFinance, Kamis (5/6/2014).
Terkait kapal tanker MT Jelita Bangsa yang ditangkap Selasa lalu, Agung mengatakan, Bea Cukai terus melakukan penyelidikan soal siapa yang bertanggung jawab. Bea Cukai juga bekerjasama dengan Kepolisian.
"Jadi data ini masih tangkapan saja dulu, belum ada proses lanjut, masih pendalaman," kata Agung.
Selain itu, Bea Cukai juga akan meminta keterangan dari SKK Migas dan Pertamina, serta pihak lain yang mempunyai kepentingan terhadap penyelundupan minyak mentah tersebut.(dnl/ang)Penjelasan Pertamina
Selasa 3 Juni 2014 lalu, kapal MT Jelita Bangsa sewaan Pertamina ditangkap karena menyelundupkan minyak mentah dari sumur minyak Chevron ke Malaysia. Apa kata Pertamina?
Vice President Corporate Communication Pertamina Ali Mundakir mengatakan, minyak yang diselewengkan kapal tersebut merupakan minyak limbah (on board quantity), sisa pencucian tangki kapal yang bercampur air dan tersimpan dalam slop tank.
"Setelah kami klarifikasi kepada pemilik kapal, didapatkan irformasi berdasarkan pengakuan Perwira Senior MT Jelita Bangsa, bahwa minyak yang sudah dipindahkan dari MT Jelita Bangsa adalah limbah sisa pencucian kompartemen kapal yang masih mengandung sisa minyak. Jadi bukan kargo minyak mentah milik Pertamina dari Chevron Pacific Indonesia," ungkap Ali dalam keterangannya kepada detikFinance, Kamis (5/6/2014).
Namun demikian, Ali mengatakan, pihaknya masih akan menunggu hasil verifikasi resmi dari surveyor independen yang ditunjuk oleh Bea Cukai, untuk memastikan kualitas dan kuantitas kargo Pertamina di kapal tersebut. Dia juga menegaskan, Pertamina sama sekali tidak mengalami kerugian dari peristiwa ini.
"Karena kontrak antara Pertamina dan pemilik kapal yang berlaku saat ini telah memagari secara tegas kewajiban pemilik kapal, untuk memastikan kargo Pertamina aman baik secara kualitas maupun kuantitas, hingga sampai di tempat tujuan pengiriman. Sehingga risiko apapun terkait dengan kedua hal tersebut menjadi tanggung jawab pemilik kapal," tutur Ali.
Selanjutnya, Pertamina telah mengirimkan surat peringatan kepada pemilik kapal dan setelah hasil penyelidikan selesai akan ditentukan sanksi yang tegas seperti pemutusan kontrak.
Pertamina, kata Ali, sangat mengapresiasi langkah yang ditempuh Bea Cukai dalam upaya pemberantasan penyelewengan minyak, yang dalam konteks ini telah membantu menyelamatkan minyak mentah milik Pertamina. Ali mengatakan, Pertamina berkomitmen penuh untuk turut serta mendukung upaya tersebut melalui mekanisme pengawasan yang ketat.
"Selain kontrak yang sudah sangat tegas melindungi kargo perusahaan, kapal juga sudah dilengkapi dengan vessel tracking yang pada saat kejadian memang diketahui dalam kondisi dimatikan dengan sengaja beberapa saat sebelum kapal tersebut ditangkap aparat. Fakta ini tentunya sangat membantu aparat pada saat melakukan pemeriksaan lebih lanjut," ungkapnya.
Ali juga menegaskan, minyak yang diangkut dari sumur minyak Chevron di Dumai ini sudah dibeli oleh Pertamina dan menjadi milik Pertamina.
"Oleh pemilik kapal MT Jelita Bangsa diangkut sesuai yang dibeli sejak lepas dari pelabuhan, jika sampai titik serah di Balongan isi minyak berkurang maka itu jadi tanggung jawab pemilik kapal, kami bisa tagih kekurangannya atau kami tidak bayar ongkos angkutnya," ujarnya.
Ali mengungkapkan, kapal MT Jelita Bangsa juga secara sengaja tidak memberikan tanda sebagai bukti laporan perjalanannya.
"Setiap kapal ada GPS-nya, dia tiap beberapa jam tidak memberikan PING, sebagai sinyal keberadaanya, intinya Pertamina tidak bodoh lah, minyak yang diangkut kurang kita tidak mau bayar atau minta ganti kekurangannya," tutupnya.
MT Jelita Bangsa mengangkut kargo minyak mentah Pertamina sebanyak 402.955 barel Duri Cruder eks Chevron dan berangkat dari pelabuhan Dumai pada tanggal 2 Juni 2014 sekitar pukul 09.00 WIB untuk tujuan pengiriman Kilang Balongan, Jawa Barat. Kapal ditangkap aparat Bea Cukai di perairan sebelah utara Pulau Karimun Kecil pada 3 Juni 2014 dini hari.Chatib Basri Puji Bea Cukai yang Sukses Atasi Penyelundupan Minyak
Bea Cukai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau beserta Kepolisian berhasil menangkap usaha penyelundupan minyak ke luar negeri pada Selasa lalu. Nilai dari minyak tersebut diperkirakan mencapai Rp 450 miliar.
Menteri Keuangan Chatib Basri mengapresiasi tindakan yang telah dilakukan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC). Karena tangkapan sebanyak 60 ribu ton tersebut baru terbesar sepanjang sejarah Indonesia.
"Ini yang paling besar. Tadi pak Dirjen bea cukai sudah melaporkan. Saya kira ini prestasi yang hebat," ungkapnya di Gedung DPR, Senayan, Jakarta pada Kamis malam (6/6/2014).
Sampai dengan hari ini, hasil tangkapan tersebut telah ditindaklanjuti dan memasuki tahap penyidikan. Agar dapat mengetahui pihak-pihak yang terlibat aksi penyelundupan minyak.
"Ditindaklanjuti dan dibikin penyidikan, supaya ini kita jaga sih. Tapi ini luar biasa 60 ribu ton itu besar sekali terbesar sepanjang sejarah," jelasnya.
Penyelundupan memang bukan barang baru lagi di dalam negeri. Karena beberapa waktu sebelumnya, DJBC juga telah berhasil mencegah terjadinya upaya penyelundupan.
Tidak hanya minyak mentah, namun juga Bahan Bakar Minyak (BBM). Menurut Chatib, salah satu penyebab terjadinya penyelundupan adalah disparitas harga jual dari BBM. Karena dinilai dapat memberikan keuntungan yang besar.
"Di sisi lain kita juga hati-hati, disparitas harga cenderung untuk penyelundupan," ujarnya.(mkl/ang)Jero Wacik Komentari Kasus Penyelundupan Minyak Mentah Terbanyak Sepanjang Sejarah
Direktorat Jenderal Bea Cukai Tanjung Balai Karimun, Kepulauan Riau berhasil menggagalkan upaya penyelundupan minyak mentah paling besar dalam sejarah di Indonesia, yang mencapai hampir 60.000 metrik ton. Kapal yang mengangkut minyak ilegal ini adalah kapal MT Jelita Bangsa yang disewa PT Pertamina (Persero) antar minyak mentah ke Kilang Balongan, Jawa Barat.
Menanggapi penangkapan tersebut Menteri ESDM Jero Wacik meminta aparat Bea Cukai makin meningkatkan pengawasannya khususnya terhadap upaya penyeludupan minyak mentah dan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang merugikan negara.
"Tangkap terus para penyelundup itu, tangkap dan tangkapin," ucap Jero ditemui di Gedung DPR, Kamis malam (5/6/2014).
Terkait langkah antisipasi agar tidak terulang lagi aksi penyelundupan minyak terus menerus, cara yang bisa dilakukan hanya dengan makin memperketat pengawasan.
"Ya jaga terus, makin perketat pengawasan, karena maling itu terus ada walau sudah ada yang ditangkapin," tutupnya.(rrd/hen)
★ detik