skip to main |
skip to sidebar
"Saat ini kami sudah memasarkan produk nanoteknologi ke Malaysia dan Arab Saudi dan ke depannya dipasarkan ke Jepang dan Tiongkok,"
LIPI
Produk nanoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menembus pasar internasional karena berkualitas dan mampu bersaing dengan produk dari negara asing lainnya.
"Saat ini kami sudah memasarkan produk nanoteknologi ke Malaysia dan Arab Saudi dan ke depannya dipasarkan ke Jepang dan Tiongkok," kata Kepala Pusat Inovasi LIPI Dr. Nurul Taufiqu Rochman, M. Eng., Ph.D. di Jakarta, Kamis.
Ia menjelaskan saat ini penjualan produk nanoparticle milling machine atau mesin penggiling nano ke pasar Malaysia mencapai 30 unit lebih per tahun.
"Permintaan ini cukup tinggi sehingga kami kesulitan untuk memenuhi permintaan pasar nasional dan internasional," tuturnya.
Sementara itu, LIPI sedang melakukan penjajakan kerja sama dengan Jepang berupa nano bubble atau partikel untuk mengawetkan hasil tangkapan ikan sehingga bisa diekspor ke Jepang.
"Jepang tidak akan bisa mengambil produk-produk ikan tangkapan nelayan kalau tidak dilakukan teknologi yang bisa menjaga kesegaran ikan," tuturnya.
Menurut dia, teknologi itu akan membantu nelayan dalam mengekspor ikan ke Jepang sehingga akan meningkatkan kesejahteraan nelayan.
"Sebenarnya pasar itu bisa lokal dan internasional, cuma permasalahannya bagaimana kita bisa mengantisipasi atau mengelola produk perikanan agar bisa diterima di pasar internasional," ujarnya.
Nanoteknologi merupakan suatu ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mempelajari benda berukuran sangat kecil hingga sepersemiliar meter yang kemudian dimanipulasi atau direkayasa untuk menghasilkan benda-benda baru seperti yang diinginkan.(SDP-82/Z003)
Indonesia telah lama memunggungi laut. Memunggungi samudra
Jokowi harus mendorong nelayan pantai menjadi nelayan lepas pantai. sehingga dapat mencegah pencurian ikan oleh kapal asing.
Hari beranjak siang. Udara di pesisir pantai Bintaro, Ampenan, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) mulai memanas. Namun, Muhamad Saleh (40) tetap bertahan, duduk di bibir pantai beralaskan pasir.
Ia hanya mengenakan kaus butut, celana yang tak lagi utuh dan berselempang sarung yang sudah tampak kusam.
Muhamad Saleh merupakan salah satu nelayan di Kampung Bugis, Ampenan. Siang itu, ia sedang melepas penat, setelah semalaman mengolah lautan mencari ikan. Ia sendirian, hanya ditemani secangkir kopi dan rokok di tangan, serta perahu tempel miliknya yang sudah tampak tua dimakan usia.
"Nelayan di sini yang kaya semakin kaya, yang miskin tetap miskin," ujar Saleh membuka percakapan saat VIVAnews menemuinya Selasa, 21 Oktober 2014.
Ia mengeluh, karena hasil tangkapan ikan terus menurun. Nelayan tradisional macam dia hanya mengandalkan kebaikan alam dan keberuntungan.
Keluhan senada disampaikan Muslim (42), kolega Saleh sesama nelayan di Ampenan. Ia menilai, pemerintah tak serius memperhatikan nelayan. Para nelayan menjadi terkotak-kotak dan mengarah pada persaingan yang tak sehat dan rebutan lahan tangkapan.
Akibatnya, nelayan yang hanya bermodal jala dan perahu kecil macam dia akan tersingkir. Tak jarang, nelayan pulang dengan hasil tangkapan yang tak sebanding dengan pengeluaran.
"Tidak seperti dulu bisa tiap hari dapat ikan, sekarang dapat sehari libur 2 sampai 5 hari, begitu seterusnya," ujarnya saat ditemui VIVAnews di tempat yang sama.
Kondisi itu diamini Idep (39). Nelayan asal Padang, Sumatera Barat ini mengatakan, pendapatannya sebagai nelayan seringkali tak mampu memenuhi biaya hidup sehari-hari. Padahal, ayah dua anak ini sudah menjadi nelayan sejak 20 tahun silam. Ia menghabiskan waktu 15 sampai 18 hari sekali melaut.
Namun, maksimal ia hanya bisa mendapatkan satu ton ikan. Kadang, hanya separuhnya. Sementara itu, biaya untuk sekali melaut mencapai Rp 9 juta. “Sering kami pulang hanya balik modal,” katanya kepada VIVAnews, Kamis, 23 Oktober 2014.
Idep melaut menggunakan kapal orang lain. Karenanya, hasil tangkapan dibagi dengan pemilik kapal.
“Kami menjalankan kapal saja. Dapat tidak dapat ikan, itu tanggung jawab kami. Kalau dapat banyak, kami dapat uang. Kalau dapat sedikit, kami juga dapat sedikit, bahkan kadang tidak dapat apa-apa,” ujarnya.
Kondisi itu diperparah dengan sulitnya nelayan mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) untuk melaut. Soal sulitnya mendapatkan BBM juga dirasakan Bachril (40), nelayan asal Makassar, Sulawei Selatan.
Menurut dia, kebanyakan nelayan mengeluh terkait kebijakan pemerintah yang melarang membeli solar menggunakan jeriken di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan (SPBN). BBM untuk nelayan jadi sangat terbatas dengan adanya larangan membeli solar menggunakan jeriken.
Lain lagi yang dikeluhkan Hendri, nelayan asal Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Ia menyesalkan banyaknya kapal di atas 15 groos ton (GT) yang beroperasi sekitar tiga mil dari bibir pantai. Menurut dia, hal itu sangat merugikan nelayan yang melaut dengan kapal jukung. Sebab, yang panen ikan adalah kapal besar yang memiliki peralatan lebih memadai.
"Kondisi itu sering kami temui ketika musim ikan tiba. Mereka beroperasi saat malam hari dan aparat tak berbuat banyak," ujarnya saat ditemui VIVAnews, Rabu 22 Oktober 2014.
Nelayan yang hanya bermodal jala dan perahu kecil akan tersingkir. Tak jarang, nelayan pulang dengan hasil tangkapan yang tak sebanding dengan pengeluaran. (Foto: VIVAnews/Frenando Randy)
Kemiskinan Nelayan
Sebagai negara maritim terbesar di dunia dengan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, nelayan Indonesia seharusnya bisa hidup sejahtera.
Namun, fakta berbicara lain. Jika memasuki kampung-kampung pesisir yang tercium adalah bau amis dengan pemandangan permukiman padat penduduk yang kumuh dan jorok. Kampung nelayan sangat identik dengan kemiskinan.
Serikat Nelayan Indonesia (SNI) menyatakan, sebagian besar nelayan Indonesia adalah nelayan tradisional dengan bobot perahu tak lebih dari 10 GT. Mereka adalah nelayan pantai dengan jangkauan tak lebih dari 12 mil dan hanya mengandalkan alam.
Sekretaris Jenderal SNI, Budi Laksana, mengatakan, sejumlah masalah seringkali dihadapi nelayan mulai dari cuaca, teknologi, ketersediaan bahan bakar, penjualan ikan hingga keamanan di laut. Tengkulak juga masih menjadi momok bagi nelayan. Hampir semua nelayan tradisional secara permodalan sangat tergantung pada tengkulak.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim mengatakan, nelayan miskin karena negara absen. Sejumlah program yang diniatkan guna mengatasi kemiskinan nelayan mentok pada oknum Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta elite nelayan.
Ia mencontohkan kasus pengadaan seribu kapal untuk nelayan. Dana untuk program ini cukup besar yakni mencapai Rp 1,5 triliun. Namun, program ini tak banyak membantu nelayan karena penerima kapal bukan nelayan.
Selain itu, speknya tak sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya, kapal bantuan pemerintah tersebut mangkrak karena tak digunakan. Tak hanya itu, investasi di sektor perikanan 95 persen dikuasai oleh asing. Maka tak heran jika nelayan nusantara masih berkubang kemiskinan.
Pakar kelautan Rohmin Dahuri mengatakan, kemiskinan nelayan terjadi karena tata niaga perikanan yang memojokkan nelayan. Hal ini membuat nelayan dan masyarakat pesisir semakin termarjinalkan. Bekal nelayan melaut tak seimbang dengan pendapatan.
“Mereka butuh BBM dan kebutuhan lain untuk melaut. Selama ini nelayan maju kena, mundur kena. Kalau minim ikan harganya mahal, kalau lagi panen melimpah harga tangkapan ikan nelayan murah karena daya serap warga setempat,” ujar mantan menteri kelautan dan perikanan ini kepada VIVAnews, Kamis, 23 Oktober 2014.
KKP membantah dianggap abai terhadap nelayan. Sekjen KKP Syarief Widjaja mengatakan, pihaknya telah membantu nelayan. Misalnya, pemerintah membantu proses kepemilikan tanah nelayan. KKP juga mengklaim telah membantu permodalan, peralatan tangkap, serta pendidikan dan kesehatan.
KKP juga mengatakan telah membangun seribu kapal nelayan guna membantu kelompok nelayan. Kredit usaha rakyat juga dikucurkan.
Potensi Kelautan
KKP menyatakan, Indonesia memiliki potensi maritim yang sangat besar. Potensi maritim Indonesia berupa 17.504 pulau, garis pantai 95.181 kilometer, dan luas laut 5,8 juta km2. Lalu, 80 persen industri dan 75 persen kota besar terletak di wilayah pesisir.
"Ada 60 cekungan migas yang 70 persennya ada di laut," ujar Sekjen KKP, Syarief Widjaja kepada VIVAnews di Jakarta, Kamis 23 Oktober 2014.
Tak hanya itu, cadangan migas Indonesia sebanyak 9,1 miliar barel juga ada di laut. Objek wisata laut dan wilayah pesisir juga ada. Indonesia juga dikenal sebagai marine mega biodiversity karena memiliki 8.500 spesies ikan, 555 spesies rumput laut, dan 950 spesies terumbu karang.
Sementara itu, potensi perikanan laut tangkap sebanyak 6,5 juta ton per tahun, budidaya perikanan payau seluas 2,96 juta hektare, dan budi daya laut seluas 12,55 juta hektare per tahun.
Sayangnya, potensi itu belum tergarap optimal. Swasta maupun pemerintah belum banyak yang memaksimalkan potensi tersebut. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan, ada sejumlah kendala yang dihadapi pengusaha saat akan mengoptimalkan potensi kelautan dan perikanan di Indonesia.
Misalnya, tumpang tindihnya peraturan dan zonasi perikanan serta sulitnya mendapat suntikan modal dari perbankan.
Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Kelautan dan Perikanan, Yugi Prayanto mengatakan, pengusaha yang berkecimpung di sektor ini sangat kecil. Sebab, sektor ini berisiko tinggi meski perikanan membuahkan keuntungan yang tinggi.
"Industri ini penuh risiko. Perbankan takut investasi besar-besaran,” ujarnya kepada VIVAnews, Selasa 21 Oktober 2014.
Hal itu diamini Rohmin Dahuri. Ia mengatakan, pemanfaatan potensi kelautan terkendala anggaran dan pendanaan. Menurut dia, perbankan hanya memberikan pinjaman untuk sektor kelautan 0,2 persen. Dana di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga kecil. Selain itu, karena keterbatasan teknologi dan sumber daya manusia (SDM).
“Jadi, itu penyebabnya. Kalau kami hitung baru 20 persen tingkat pemanfaatannya,” ujarnya.
Visi Maritim Jokowi
Dalam pidato perdananya usai dilantik menjadi presiden, Joko Widodo (Jokowi) menyatakan akan mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai Negara Maritim.
“Kita telah terlalu lama memunggungi laut, memunggungi samudra, memunggungi selat dan teluk. Kini saatnya kita mengembalikan semuanya.” Demikian, sebagian kutipan pidato Jokowi.
Sejumlah kalangan menyambut baik tekad dan janji Jokowi tersebut. Rohmin Dahuri misalnya. Menurut dia, komitmen Jokowi tersebut merupakan sesuatu yang dahsyat. Sebab, selama ini pembangunan Indonesia lebih fokus ke darat. Padahal 3/4 wilayah Indonesia adalah laut.
Rohmin mengatakan, Jokowi berusaha menghidupkan kembali Tri Sakti-nya Soekarno. Menurut dia, Soekarno pernah memperkuat maritim.
Namun, pada masa Orde Baru tak ada kementerian kelautan. Visi kelautan kembali bangkit era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan berdirinya kementerian kelautan dan berlanjut hingga era Presiden Megawati Soekarnoputri.
Sayangnya, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, kementerian kelautan direduksi lagi. Menurut dia, hal itu berimplikasi pada kebijakan publik.
SNI berharap semangat Jokowi menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia bukan hanya semangat atas petunjuk pengusaha. Poros maritim hanya dijadikan pencitraan dan menguntungkan pengusaha semata.
Sebab, sepanjang garis pantai dari Sabang sampai Merauke ada keluarga nelayan yang menggantungkan hidupnya pada usaha pesisir dan lautan.
Untuk itu, Jokowi harus mendorong nelayan pantai menjadi nelayan lepas pantai. sehingga dapat mencegah pencurian ikan oleh kapal asing. Selain itu, harus ada alih teknologi kepada para nelayan guna meningkatkan sumber daya manusia.
Dari sisi permodalan, nelayan juga harus dikuatkan. Perbaikan infrastruktur atau penambahan pelelangan ikan, SPBN, dan kuota BBM untuk nelayan juga harus ditambah. Selain itu, harus ada perlindungan di wilayah laut Indonesia termasuk mengakui zonasi wilayah tangkap nelayan.
Pakar hukum laut internasional, Hashim Djalal, menambahkan, luas laut di Tanah Air saat ini belum sebanding dengan pengamanannya. Hashim pernah menghitung kebutuhan untuk pengamanan wilayah laut itu.
“Butuh sekian ratus kapal dan sekian ratus prajurit, misalnya. Tapi, kan kita tidak punya sebanyak itu. Menurut saya, ini yang penting diperhatikan,” ujarnya.
Dari dulu sampai sekarang, dia selalu mengingatkan tentang kemampuan untuk memanfaatkan, mempertahankan, dan mengembangkan potensi kelautan yang ada. Tujuan akhirnya adalah pengembangan ekonomi kawasan maritim dapat mendorong perekonomian nasional.
Matahari semakin menyengat. Muhamad Saleh beranjak pulang ke rumahnya yang berjarak sekitar 7 meter dari bibir pantai. Rumah yang tak seberapa besar dengan dinding yang sudah mulai retak serta sisa cat yang tak jelas lagi warnanya. Sementara itu, di depan rumah tampak tumpukan keranjang dan seperangkat alat untuk menjemur ikan.
Bagi Saleh, siapa pun presidennya, ia tetap harus bekerja seperti biasa. Presiden datang dan pergi. Namun, mereka tetap menggantungkan hidupnya di laut. Ia tak berharap uang dari pemerintah, namun alat untuk bekerja.
"Jangan berikan kami sumbangan berupa uang, tapi lebih baik barang atau fasilitas pelayaran berupa perahu, mesin, jala, dan BBM bersubsidi," ujarnya.(art)Jaga Laut RI Pakai Apa?
Meski teknologi pemantauan menggunakan Pesawat Udara Nir Awak (PUNA) ini cukup bagus namun jarak terbangnya masih terbatas. (Foto: VIVAnews/Muhamad Solihin)
Teknologi maritim masih minim, sumber daya pun pas-pasan.
"Jalesveva Jayamahe...di laut justru kita jaya." Semua hadirin di ruang sidang paripurna MPR bertepuk tangan ketika Presiden Joko Widodo bertekad mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai kekuatan maritim.
Saat itu Jokowi menyampaikan pidato pertama beberapa saat setelah dilantik menjadi presiden baru Republik Indonesia, 20 Oktober 2014. Sebagai negara pemilik belasan ribu pulau, ironis sekali melihat pemerintah sekian puluh tahun tidak sungguh-sungguh menggarap potensi negeri ini sebagai kekuatan maritim.
Tidak mudah mewujudkan ambisi Jokowi. Teknologi di negeri ini masih sangat minim dan riset kelautan masih bisa dihitung dengan jari akibat kurang seriusnya perhatian pemerintah.
Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang juga baru saja dilantik, Iskandar Zulkarnain, menyatakan seharusnya porsi perhatian negara terhadap kelautan sudah ada sejak dulu. Komitmen Jokowi sulit untuk dilakukan jika riset dan teknologi dianggap tidak penting. Dalam beberapa tahun kemarin saja, dana yang digelontorkan untuk penelitian kelautan tergolong sangat terbatas.
"Penelitian di darat itu lebih mudah daripada di laut, kita berhadapan bukan hanya persoalan dengan perilaku alam, tapi juga kondisi tak berdaya seperti badai," ungkap Iskandar.
Oleh karena itu, lanjut dia, dibutuhkan kapal riset di setiap wilayah. Saat ini kapal riset yang dimiliki Indonesia tak sebanding dengan luas lautan yang ada.
Idealnya, kata Iskandar, dibutuhkan tiga hingga empat kapal riset per wilayah, baik Barat, Tengah, maupun Timur karena karakteristik kelautan yang berbeda-beda. Meski sekarang beberapa lembaga memiliki kapal sendiri, tidak semua diperuntukkan bagi riset.
Selain itu, kebanyakan kapal riset yang dimiliki berusia 16 tahun, tergolong tua. Idealnya, usia kapal riset maksimal 10-12 tahun.
"BPPT punya Baruna Jaya 1,2,3, LIPI punya Baruna Jaya 7,8. (Kementerian) ESDM punya Geomarin 2 buah, KKP ada beberapa, saya kurang tahu pasti. Sayangnya, tidak semua merupakan kapal riset murni, mereka punya tugas dan fungsi masing-masing," ungkap Iskandar.
Hal ini diamini oleh Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam, Ridwan Djamaluddin. BPPT pada tahun 2010 juga memiliki Kapal Riset Baruna II yang sudah dipasangi perangkat seismik, yang kemudian menjadi kapal survei seismik pertama nasional yang memiliki kemampuan eksplorasi migas.
Walaupun bukan sebagai kapal yang paling canggih, tapi sudah bisa eksplorasi migas. Sayangnya, secara nasional kapal ini tidak dijadikan sebagai sebuah aset yang harus dimaksimalkan.
“Jadi ada tiga yang harus diperbaiki, yaitu pemanfaatan teknologi, menghilangkan kesenjangan antara litbang dan pemanfaatan, serta sumber daya manusia yang harus diperbaiki,” kata Ridwan.
Teknologi yang dimiliki oleh armada kapal riset Baruna Jaya tidaklah ketinggalan. Dengan upgrading Multi-beam EM 122 D di Baruna Jaya III, serta instalasi Multi-beam baru Elac SEABEAM 1050 D di Baruna Jaya IV mampu melakukan penjejakan atau pemetaan 3-D (3 Dimensi) secara terinci terhadap dasar laut dan obyek-obyek di laut dari kedalaman 4.5 m sampai ribuan meter.
Menurut dia, selain kapal riset, Indonesia juga membutuhkan kapal pengawas, baik di laut maupun di udara. Tidak heran jika dia menyarankan untuk memperkuat angkatan laut Indonesia, baik dengan memodernisasi kapal, menambah jumlahnya, sampai meningkatkan kemampuan personil dalam memanfaatkan teknologi kelautan.
“Dalam konteks yuridiksi, saya kira Indonesia harus memperkuat angkatan laut. Karena, wilayah laut Indonesia yang sangat luas dan tidak mudah dijangkau, memerlukan teknologi pemantauan dan pengamanan yang handal. Saat ini, saya kira Indonesia belum sampai tahap maksimal sehingga perlu banyak dukungan pengamanan dan keselamatan laut yang kuat,” kata Ridwan.
Teknologi Pemantau
Untuk urusan perlengkapan teknologi kelautan yang dimiliki, BPPT, LIPI dan LAPAN telah memiliki banyak fasilitas yang bisa dimanfaatkan. Misalnya drone, satelit, radar, kapal selam, sampai aplikasi pelacak posisi ikan atau sumber alam kelautan lain. Sayangnya, ada beberapa fasilitas yang memiliki fungsi terbatas.
Misalnya, kata Ridwan, adalah drone atau Pesawat Udara Nir Awak (PUNA). Meski teknologi pemantauan menggunakan PUNA ini cukup bagus namun jarak terbangnya masih terbatas, bahkan untuk menerbangkannya membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Oleh karena itu, lanjut Ridwan, penggunaan PUNA atau pesawat patroli bisa dibarengi dengan pemanfaatan satelit.
“Satelit akan menjadi pelengkap untuk melakukan pemantauan laut Indonesia yang sedemikian luas. Satelit ini secara berkala yang memantau wilayah perairan dan memberikan informasi yang dibutuhkan.
Jika suatu ketika ada kegiatan mencurigakan di atas laut kita, kapal patroli atau PUNA bisa dikirim untuk memeriksa. Satelit juga bisa memantau ilegal fishing. Dan untuk urusan ilegal fishing ini, harus diperkuat implementasi penegakan hukumnya,” ujar Ridwan.
Untuk PUNA, Lapan telah mengembangkan 5 jenis LSU 01,02,03,04, dan 05 dengan jarak terbang bervariasi, mulai dari 100 sampai 500 kilometer dan beberapa jam durasi terbang. Sedangkan BPPT mengembangkan juga PUNA Wulung bekerja sama dengan TNI AU.
Sedangkan perangkat pemantau lain, Indonesia juga memiliki radar, namun dengan jumlah yang masih minim. Menurut Ridwan, wahana yang digunakan untuk pemantauan bukan hanya yang berada di permukaan laut, tapi dalam konteks pengamanan wilayah dari penyusup asing, kita juga harus melihatnya dari dalam permukaan laut.
“BPPT mengembangkan Akustiktomografi, teknologi radar yang bisa dipasang di selat-selat Indonesia untuk melakukan pemantauan di bawah permukaan air.
Teknologi ini tidak hanya memantau kapal-kapal yang ada di atas permukaan laut, tapi juga kapal-kapal selam. Cara kerjanya mengirim sinyal dari suatu sumber dan diterima oleh sumber lain.
Ada peralatan yang bertugas mengirim sinyal dan ada peralatan yang menerima sinyal. Sinyal-sinyal ini yang kemudian akan terdeteksi dan menampilkan obyek-obyek yang ada di bawah air,” papar Ridwan.
Sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS) juga telah menjadi perhatian penting BPPT dalam beberapa tahun terakhir. Dengan dukungan empat kapal riset Baruna Jaya milik BPPT, selama ini sudah terlaksana pemasangan buoy Tsunami di 9 lokasi perairan laut Indonesia yang berpotensi terjadi gelombang tsunami.
Sayangnya, tidak ada fasilitas pemantau untuk melindungi perangkat ini dari vandalisme yang mengakibatkan tidak berfungsinya early warning system. Tantangan ke depan untuk buoy tsunami Indonesia adalah optimalisasi efektivitas deteksi dan konfirmasi tsunami lokal/jarak dekat (near field tsunami)
Bantu Nelayan
Selain pemantauan kedaulatan laut di Indonesia, penting juga mengeksplorasi keindahan dalam laut Indonesia. Dalam hal ini, Ridwan menjelaskan, jika BPPT telah melakukan penelitian sejak 2006 untuk membuat terowongan layang bawah air (submerge floating tunnel/SFT) untuk memberikan sensasi wisata maritim.
Dari sekian banyak tempat di Indonesia yang memenuhi prasyarat, Pulau Panggang dan Pulau Karya yang terletak di wilayah Kepulauan Seribu yang paling cocok untuk dijadikan tempat perdana pemasangan SFT. Sayangnya, belum ada keseriusan dari pemerintah untuk merealisasikan proyek ini, termasuk keseriusan pemerintah daerah.
BPPT dan Lapan, keduanya menunjukkan pentingnya pemanfaatan sumber daya alam dengan membantu nelayan mendapat lebih banyak hasil tangkapan, termasuk menghentikan aksi ilegal fishing.
BPPT memiliki Sistem Informasi Knowledge-Based Fishing Ground (SIKBES-FG) merupakan aplikasi database estimasi hasil tangkapan ikan. Aplikasi ini disusun dengan menggunakan pendekatan Knowledge-Based Expert Systems (KB-ES) yang diintegrasikan dengan sistem berbasis spasial (Sistem Informasi Geografis/GIS) untuk menentukan dan mengestimasi lokasi penangkapan ikan (fishing ground), khususnya ikan pelagis ekonomis.
BPPT sudah mengembangkan sebuah teknologi yang dapat membantu nelayan untuk mengetahui posisi ikan. Upaya itu BPPT lakukan untuk meningkatkan efisiensi sumber daya yang dikerahkan oleh para nelayan.
Jadi, teknologi ini bisa menyediakan informasi berdasarkan karakteristik laut. Misalkan, potensi lokasi sumber makanan ikan berupa klorofil di wilayah tertentu.
Dengan teknologi ini kita bisa menginformasikan kepada nelayan bahwa hari ini dan beberapa hari kemudian di daerah ini berpotensi banyak ikannya. Jadi, para nelayan bisa langsung menuju ke posisi yang ikannya banyak tanpa harus mencari-cari tanpa hasil.
Sedangkan di LAPAN, teknologi yang dimiliki masuk ke dalam keantariksaan yang terbagi menjadi 3, yaitu komunikasi, pemantauan dan navigasi. Kemudian, pemantauan satelit, aspek fisika dan biologi laut, suhu, kandungan klorofil dari ikan, bisa juga mengambil informasi terkait potensi tangkapan ikan dengan satelit, jadi tidak hanya sekedar mengarahkan.
Lapan menyebutnya zona potensi penangkapan ikan (ZPPI). Lapan memberikan ke nelayan terakit laporan pencarian ikan di wilayah itu, jadi produktifitasnya bisa ditingkatkan lagi.
Sekarang yang dikembangkan adalah teknologi antariksa dan aeronautika, untuk pengamanan laut. Selama ini kasus pencurian ikan dan kekayaan laut RI oleh pihak asing sulit terkontrol.
"Kapal laut tidak bisa menjelajahi wilayah indonesia dan itu bisa dibantu teknologi antariksa dan teknologi aeronotika, bisa dengan satelit tapi bisa dibantu dengan teknologi aeronautika pesawat yang mahal sekali tapi kalau pesawat kecil tanpa awak itu bisa, yang bisa diinformasikan kepada angkatan laut mengenai penangkapan ikan ilegal,” ungkap Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin.
Ditambahkan Iskandar, fenomena yang terjadi sekarang, adalah peningkatan asam yang memicu kerusakan pada terumbu karang. Selama ini terumbu karang menjadi ekosistem bagi ikan.
Jika rusak maka ikan pergi ke lokasi lain yang terumbunya masih bagus. “Nelayan yang biasa mendapat ikan hanya dengan lokasi berapa mil, sekarang semakin jauh,” kata Iskandar.
Pengetahuan Minim
Indonesia, lanjut Iskandar, dipandang terlambat untuk menyadari rencana menjadikan negara ini sebagai poros maritim. Seharusnya sejak dulu sudah berkumandang karena nenek moyang Indonesia adalah seorang pelaut.
“Kita sangat sedikit pengetahuan akan laut, jadi agak lalai. Makanya orang mencuri begitu saja karena kita tidak terlalu memperhatikannya,” ujar dia.
Thomas dan Ridwan sepakat jika yang dibutuhkan Indonesia adalah modernisasi atau peningkatan alutsista serta teknologi pendukungnya. Namun LAPAN lebih mengutamakan teknologi alutsista khusus keantariksaan.
“Untuk tahap pertama, potensi sumber daya alam, pemantauan dan lainnya, kalau menggunakan teknologi konvesional dari kapal-kapal itu, memerlukan jumlah yang sangat banyak.
Menurut saya, pemantauan antariksa menjadi alternatif awal untuk bisa diperkuat dulu. Dengan teknologi antariksa ini pemantauannya bisa dilakukan secara sistematik, integratif, dan relatif murah.
Dari sana bisa menentukan skala prioritas, mana yang mau dikembangkan, atau wilayah mana yang berpotensi dikembangkan,” kata Thomas.(ren)
Lembaha Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerja sama dengan Warwick Universiti Inggris dalam pengembangan baterai mobil listrik untuk menunjang program mobil hibrid.
"LIPI dan Warwick University melakukan kerja sama kemitraan sederajat untuk pengembangan baterai untuk mobil listrik, progresnya sudah berlangsung," kata Kepala Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatonik LIPI Dr Budi Prawara di Bandung, Selasa.
Menurut Budi, saat ini pengembangan mobil listrik masih terkendala dengan ketahanan baterai yang digunakan untuk mengoperasikan mobil listrik itu.
Berbeda dengan mobil dengan BBM yang bisa melakukan pengisian ulang, untuk mobil listrik, tenaga pengoperasian sepenuhnya dengan baterai yang menjadi pembangkit utamanya.
"Ketahanan baterai menjadi prioritas untuk program pengembangan mobil listrik ini disamping fasilitasi pengisian litriknya nanti. Kerja sama ini diharapkan bisa menghasilkan baterai yang lebih maksimal dengan daya tempuh lebih jauh," kata Budi Prawara.
Ia menyebutkan, dalam kerja sama ini dilakukan dalam posisi sederajat dan sama-sama untuk melakukan riset untuk pengembangan produk baterai baru.
"LIPI sudah kirim periset ke sana dan jadi kandidat doktoral di sana. Untuk pengembangan selanjutnya kami masih menunggu izin dari Kemenristek," kata Budi.
Menurut Budi kerja sama dengan Warwick Universita sifatnya satu level, dimana hal itu sangat jarang terjadi dalam kerja sama bidang teknologi.
"Kami sama-sama untuk menciptakan produk baru dan dalam satu level. Itu jarang terjadi dalam kerja sama teknologi," katanya.
Selain bekerja sama dengan Warwick University, LIPI juga masih terus mengembangkan riset pembangkit listrik tenaga surya terkonsentrasi yang saat ini intalasi percontohannya telah terbangun di Yogyakarta.
"Riset pembangkit listrik tenaga surya terkonsentrasi terus dikembangkan, biayanya cukup besar namun itu harus dilakukan karena merupakan salah satu energi baru terbarukan yang sangat memungkinkan dikembangkan di tanah air," kata Budi Prabawa menambahkan.
★ Antara
Peserta menunjukkan cara pengolahan energi bioethanol dalam pameran Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Conex 2013 di JCC, Jakarta, Rabu (21/8). (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
Energi baru dan terbarukan serta mobilitas hijau menjadi prioritas riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kata Pelaksana Tugas Kepala LIPI Dr Akhmadi Abbas.
"Riset energi baru terbarukan dan mobilitas hijau merupakan prioritas riset LIPI, yakni meliputi proses, peralatan dan material yang mampu menghasilkan energi," kata Akhmadi pada International Conference on Sustainable Energy Engineering and Application (ICSSEA) di Bandung, Selasa.
Ajang ICSEEA yang rutin digelar LIPI setiap dua tahun sekali, menurut dia, merupakan forum bertukar pengalaman tentang pengembangan energi terbarukan, teknik serta aplikasi inovatifnya.
"Berbagai pandangan tentang kebijakan dan pendekatan serta promosi kerjasama internasional," katanya.
Kepala Pusat Penelitian Tenaga Listrik dan Mekatonik Dr Budi Prawara menyebutkan selain mambahas energi terbarukan dan kendaraan ramah lingkungan ICSEEA juga membahas berbagai topik pendukung.
"Membahas pengembangan mobil listrik dan mobil hibrid, mengenai kendaraan konvensional dan infrastrukturnya, biofuel, manajemen lalu lintas, pembangkit listrik surya, tenaga biomassa, tenaga hidrogen, ombak, panas bumi dan konservasi energi," katanya.
Akhmadi menjelaskan pula bahwa LIPI telah menginisiasi alat transportasi hijau sejak 1997 melalui riset mobil listrik.
"Sudah ada beberapa moda, pengembangan terus dilakukan, termasuk dalam riset battery kendaraan listrik yang masih menjadi kendala pengembangannya," kata dia.
★ Antara
Keanekaragaman hayati Indonesia banyak memiliki potensi dengan nilai tak terhingga karenanya selalu menjadi incaran pihak asing termasuk mikroba penghasil antibiotik, kata Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati LIPI, Siti Nuramaliati Prijono.
"Asing banyak cari antibiotik mikroba dari Indonesia. Kebanyakan dari Amerika, Jerman, dan Prancis," kata Siti Nuramaliati Prijono, di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan selama ini sangat sulit untuk menangkal pencurian mikroba mengingat ukurannya yang begitu kecil.
"Terkadang oknum peneliti asing cukup mengambil segenggam tanah dari tempat ekstrim di Indonesia, dan isinya bisa mikroba sebanyak makhluk di bumi.
Terkadang hanya cukup melekatkan di sepatu, mereka bisa lolos membawa keluar mikroba," ujar dia.
Potensi besar dari mikroba, menurut dia, sudah diketahui banyak pihak. Namun memang perlu penelitian jangka panjang hingga dapat memanfaatkan mikroba tersebut dalam kehidupan.
"Kita ada penelitian mikroba dengan Jerman, dan diketahui itu bisa untuk obat. Tapi ya itu tadi, masih butuh penelitian jangka panjang, dengantransfer knowledge screening dari sana mudah-mudahan hasilnya bisa lebih cepat dirasakan," ujar dia.
Kerja sama penelitian lain yang sudah dilakukan yakni dengan Amerika Serikat. Hasilnya ditemukan mikroba yang hidup dalam usus kumbang yang dapat menjadi sumber energi.
Sedangkan untuk sektor pertanian, sudah ada pupuk organik yang dikembangkan dari mikroba pemicu hormon pertumbuhan. Penelitian lain yang masih dikembangkan yakni yakni mikroba yang dapat menjadi antibiotik dan antikanker.(V002)
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengembangkan Pusat Penelitian (Puslit) Biomaterial yang terpusat di Cibinong Science Center guna menggali potensi biomaterial sebagai langkah penyelamatan lingkungan.
Kepala LIPI Lukman Hakim saat meresmikan Puslit Biomaterial di Cibinong, Jawa Barat, Kamis, mengatakan biomaterial menjadi sumber pemanfaatan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia sekaligus sebagai upaya penyelamatan lingkungan.
"Kita harus terus mencari langkah untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan," katanya.
Pertambangan mengikis lapisan tanah dan menumbangkan tegakan diatasnya sehingga tidak berharga, padahal nilai rendemen yang dihasilkan tambang tidak setinggi dengan keanekaragaman hayati yang hidup di atas tanah.
Kondisi tersebut, menurut dia, yang menjadi salah satu alasan pentingnya mengembangkan biomaterial sehingga ada pemanfaatan dari apa yang terbuang dari sisa hasil produksi menjadi lebih bernilai. Karenanya, peran Puslit Biomaterial akan menjadi strategis di masa depan mengingat permasalahan kerusakan lingkungan diyakini menjadi semakin serius.
Bahan baku biomaterial yang merupakan alternatif dari serat-serat alam, bambu, limbah pertanian dan perkebunan ini memiliki potensi dan jumlah yang besar. Potensi ini membuka munculnya industri baru biomaterial sebagai pendamping industri perkayuan konvensional yang ada saat ini.
Dengan sifat serat yang berbeda dari kayu, diperlukan penelitian dan pengembangan lebih lanjut. Pada saat yang sama, penggunaan bahan baku biomaterial bisa menjadi langkah penyelamatan terhadap hutan yang kerusakannya semakin meluas.
Kepala Pusat Penelitian Biomaterial LIPI Sulaeman Yusuf mengatakan pengembangan bahan baku biomaterial dapat mendiversifikasi produk dari produk konvensional menjadi produk yang lebih unggul seperti bionanokomposit yang ringan, tetapi kuat untuk meterial maju seperti komponen lokomotif dan pesawat terbang.
Banyak industri yang dapat mengandalkan bahan baku yang berasal dari keanekaragaman hayati yang diberi sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi.
"Pendirian puslit biomaterial berskala nasional yang merupakan reorganisasi Unit Pelaksana Teknis Balai Litbang Biomaterial dapat berperan dalam mencapai tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur," ujar Sulaeman. (V002/B008)
★ Antara
Jakarta ★ Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mendorong peningkatan kemampuan laboratorium Kompatibilitas Elektromagnetic (Electromagnetic Compatibility/EMC) sebagai salah satu modal dalam menghadapi perdagangan bebas di wilayah ASEAN tahun depan.
"Indonesia harus mengembangkan keilmuan di bidang EMC, dan mempererat kerja sama antarlaboratorium EMC dan pihak terkait untuk mengejar ketertinggalan akan teknologi peralatan yang canggih," kata Deputi Bidang Jasa Ilmiah LIPI Bambang Subiyanto di Jakarta, Senin (23/6).
Bagi dia, EMC merupakan salah satu modal dalam menguji standar produk-produk elektromagnetik dari Indonesia yang akan beredar di pasaran.
Melalui Standar Nasional Indonesia (SNI) akan menjamin suatu produk sesuai standar kebutuhan pasar. Oleh karena itu, kehadiran laboratorium EMC yang berkualitas tidak bisa dikesampingkan begitu saja.
"Salah satu persyaratan produk perdagangan bebas adalah adanya program SNI, tidak terkecuali untuk produk berbasis kelistrikan dan elektronika. Maka dari itu, posisi laboratorium EMC sangat penting kehadirannya dalam proses standarisasi tersebut," tutur dia.
Bambang menyangkan jika kelengkapan peralatan dan kemampuan laboratorium yang dimiliki Indonesia masih kurang. Dengan demikian, Indonesia harus meningkatkan kemampuan laboratorium EMC-nya agar tidak tertinggal dari negara-negara lain, terutama di kawasan ASEAN.
Di Indonesia sendiri, laboratorium EMC hanya berjumlah sekitar 14 instansi. Sementara itu, terdapat puluhan perusahaan dalam negeri dan asing yang membutuhkan laboratorium pengujian kompatibilitas elektromagnetik.
Dia mengatakan perkembangan EMC di dunia saat ini sudah semakin pesat dan berubah secara signifikan. Beberapa negara maju seperti Uni Eropa, Amerika Serikat dan Jepang mulai merencanakan berlakunya sistem dan pengujian EMC untuk diterapkan pada peralatan elektronik.
Di Benua Eropa sendiri sudah mengharuskan setiap produk yang masuk ke wilayah itu lolos uji keselamatan berdasarkan standar yang ditentukan dengan ditandai EC (European Community), antara lain untuk produk elektronik harus lolos uji EMC.