Pages

Optimalisasi Fungsi DPD

30 December 2010

JAKARTA - Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah selama lima tahun ini tak banyak memberikan perubahan. Pasalnya, fungsi yang diamanatkan kepada DPD oleh Konstitusi sangatlah terbatas.

Undang-Undang No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 memang telah memberikan kewenangan yang lebih dibandingkan dengan UU sebelumnya. Saat ini dalam pembahasan RUU yang terkait kewenangannya, DPD bisa memberikan pendapat mininya dalam pembicaraan tingkat II.

Penambahan kewenangan tersebut memang tidak signifikan, idealnya DPD bisa ikut membahas dan memutuskan UU yang terkait dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; yang diajukan baik oleh DPR maupun oleh pemerintah. Namun perubahan dalam hal ini akan sangat berat mengingat harus merubah konstitusi.

Untuk melancarkan jalannya tugas dan wewenangnya, DPD semestinya melakukan koordinasi dengan DPR dalam membuat tatib DPR. Sehingga kepentingan DPD untuk menjalankan tugas-tugasnya dapat diakomodasi dengan baik oleh DPR. Kepentingan yang perlu diakomodasi menurut Indonesia Parliamentary Center (IPC) adalah persoalan hubungan kedua antara lembaga perwakilan meliputi:
a. Pengaturan mekanisme penolakan dan penerimaan RUU usulan DPD atau pertimbangan DPD kepada DPR. Harus jelas, persyaratan, jenis masalah apa saja yang menjadi alasan DPR menolak usulan DPD. Sehingga, DPD dapat mengerti jika usulannya ditolak atau DPR tidak semena-mena menolak usulan DPD. Selain itu, akan lebih mudah untuk menentukan apakah usulan RUU atau pertimbangan DPD dapat diterima atau ditolak.

b. Pengaturan keterlibatan DPD dalam pembahasan RUU, yang diusulkan oleh DPD sendiri atau yang diminta DPR untuk diberikan pertimbangan oleh DPD, hingga tingkat pengambilan keputusan. Dengan demikian ada kesejajaran secara kelembagaan antara DPD dan DPR.

Selain itu, persoalan memberikan pertimbangan dalam seleksi BPK, sebaiknya diperluas, tidak hanya pada BPK saja, tapi juga pada lembaga lain. Misalnya, Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Yudisial.

Dalam mengoptimalkan mekanisme kerja diinternal DPD memang perlu beberapa perbaikan, di antaranya mengenai mekanisme rapat, tata cara rapat, risalah sidang, catatan rapat dan laporan singkat. Terkait dengan mekanisme rapat, perbaikan yang perlu dilakukan adalah:

1. Pengaturan jadwal dan tempat rapat sudah cukup jelas. Masalah tempat pelaksanaan yang menyimpang dari lokasi DPD mesti ada persetujuan paripurna. Pemindahan tempat harus ada persyaratan yang jelas jika rapat tersebut harus berpindah tempat. Perpindahan tempat rapat diumumkan kepada public 3 hari sebelum pelaksanaan sehingga public tahu dengan pasti tentang jika ingin memantau atau ingin mengetahui jalannya rapat

2. Penentuan rapat tertutup: mesti diatur mekanisme yang lebih jelas. persyaratan apa saja yang harus dipenuhi untuk menentukan rapat tertutup atau terbuka. Penentuan mekanisme rapat tertutup atau terbuka mesti ada mekanisme konsultasi dan persetujuan pimpinan.

3. Hasil rapat sidang bersifat terbuka dan dapat diakses oleh public, meskipun rapat yang dilakukan adalah rapat tertutup. Hal ini dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas dan transparansi kinerja DPD. Dengan semakin terbuka dokumen, maka kecurigaan publik terhadap pelaksanaan rapat-rapat di DPD semakin turun.

Mengenai tata cara rapat pembatasan waktu bicara bagi anggota dalam rapat waktunya lebih tepat. Misalnya, untuk interupsi 10 menit, menyampaikan usul 15 menit dan sebagainya. Selain itu, Peninjau dan wartawan diberikan tempat dan aturan supaya tidak membuat gaduh dan mengganggu jalannya sidang. Hal demikian lebih bagus jika dibandingkan dengan harus menutup rapat.

Pendukung kelancaran kerja DPD lainya seperti risalah sidang, catatan rapat dan laporan singkat peru juga dibenahi. Pembagian risalah sidang kepada anggota dewan diberi batasan waktu. Misalnya, sehari setelah rapat. Yang dibagikan bukan risalah sementara. Tetapi risalah lengkap. Selain untuk mempermudah proses dokuemtasi juga lebih cepat informasi yang sampai kepad anggita secara akurat. Serta dalam rangka mendukung implementasi UU

Keterbukaan Informasi Publik (KIP), catatan rapat dan laporan singkat yang bersifat tertutup bisa dikses oleh publik, karena publik berhak tahu apa yang dilakukan oleh wakil-wakilnya di gedung dewan. Atau, jika memang ada UU yang mengatur tentang kerahasiaan dokumen, sebaiknya diberi keputusan sampai berapa lama dokumen tersebut menjadi bisa diakses oleh publik.

Untuk mengoptimalkan peran legislasi DPD, syarat untuk mengajukan RUU perlu dipermudah, dari ¼ jumlah anggota DPD menjadi misalnya 10 orang anggota yang merepresentasikan minimal 3 provinsi. Karena legislasi yang berkaitan dengan bidang otonomi daerah merupakan kewenangan DPD. Disamping itu, Penolakan DPR/Pemerintah atas usul RUU yang diajukan oleh DPD harus ada alasan yang kuat dan ada prasayarat dan standar-standar penilaian kenapa RUU tersebut ditolak.

Dalam pengawasan UU tertentu sebaiknya ditentukan secara jelas, UU bidang apa saja yang bisa dijadikan objek pengawasan. sehingga DPD bisa melakukan pengawasan langsung sebagai pendahuluan sebelum diserahkan kepada DPR. Serta, dalam hal memberi pertimbangan kepada DPR, DPD mempunyai hak meminta tindak lanjut sampai batas waktu yang ditentukan. Misalnya, selama 60 hari tidak ada tindak lanjut dari DPR, maka DPD dapat melakukan pengawasan secara langsung terhadap pelaksanaan UU tertentu.

Yang terkahir, sebagai perwakilan daerah, sudah merupakan kewajiban DPD untuk menyerap dan mengelola aspirasi masyarakat daerah. Setiap anggota mempunyai sekretariat perwakilan di daerah pemilihan masing-masing.

Sehingga, setiap kali turun ke daerah segala sesuatu sudah dipersiapkan oleh sekretariat daerah. Tugas sekretariat daerah untuk mengatur acara-acara menjaring aspirsasi diatur lebih jelas. Juga ada laporan berkala terkait aspirasi masyarakat yang sudah diserap tersebut. Apa aspirasinya dan sampai mana hasilnya dalam proses pengambilan kebijakan.

Sebagai bentuk akuntabilitas, harus ada laporan berkala terkait dengan apa saja yang telah dilakukan oleh anggota dalam periode waktu tertentu. Sehingga konstituen dapat memantau apa saja yang sudah dilakukan oleh wakilnya.

No comments:

Post a Comment

 

Populer